Pengeboran Irigasi Air Tanah (P2AT) di WS Brantas Setiap Tahun Meningkat

Surabaya, Panggung Modus Operandi – Dalam rangka mendukung Peningkatan kesejahteraan ekonomi petani, baik yang bercocok tanam Padi maupun Palawija, seperti jagung, kacang tanah, serta kedele, disamping pemilihan bibit yang baik, tentu peran air sebagai kebutuhan tanaman sangat strategis. Keberhasilan swasembada beras Republik Indonesia era reformasi saat ini peran irigasi sangat besar, baik irigasi air permukaan maupun irigasi air tanah.

Pendayagunaan Air Tanah (PAT) dapat berfungsi multiguna baik untuk air baku, dan air bersih, namun utamanya, pendayaangunaan air tanah untuk kebutuhan irigasi pertanian. Sejarah irigasi sumur Air tanah di Indonesia dimulai pertama kali Gunung kidul Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1968. Dan pada tahun berikutnya tahun 1969, pengeboran sumur air tanah dikembangkan di daerah Kabupaten Madiun dan Kediri;
“Akibat kesulitan pangan di Indonesia pada awal Orde baru tahun 1968, melalui Badan Perserikatan Dunia tentang pangan (FAO) Indonesia mendapat bantuan pengeboran sumur Irigasi Air tanah. Yang pertama sumur Irigasi air tanah dibuat di Yogyakarta dan Ponorogo. Selanjutnya pada tahun 1969 dikembangkan di Kab. Madiun dan Kediri” penjelasan DR. Sunarno Msc sesepuh Sumur pompa air tanah, mantan Direktur Irigasi Ditjen SDA Dep PU. pada workshop penyiapan usulan program 2010, dan sinkronisasi PAB dan PAT, di Surabaya.

Karena dianggap berhasil oleh Badan Perserikatan Dunia tentang pangan FAO), Bank Dunia memberi bantuan untuk membangun ratusan sumur Irigari air tanah bahkan ribuan, tersebar. didaerah yang kesulitan air irigasi pertanian di berbagai Propinsi. Puncaknya Presiden Republik Indonesia pada era Orde Baru, Soeharto pada tahun 1984, meresmikan Sumur pompa air tanah di Kab. Madiun.secara Nasional. Dan Pada Masa Orde Baru, Indonesia pernah menmengalami Swasembada Beras, dan mendapat penghargaan dari FAO. Peran Irigasi Air tanah tentu turut ketika itu mempunyai peran yang tidak kecil.

Swasembada pangan ini memang tidak bertahan lama, apalagi berubahnya kepemimpinan Nasional, dari era orde baru ke Era Reformasi tahun 1998, yang dikaitkan dengan Otonomi daerah. Dan ini berdampak kepada pengelolaan sumur pompa Air tanah yang dibangun tahun 1984 dan tahun-tahun sebelumnnya, menjadi tidak terurus. Kalaupun diurus, tidak maksimal hasilnya, kerena ada tarik menarik kewenangan antara daerah dan Pusat.

Sumur Pompa air tanah yang dibangun pada tahun 1984, jumlahnya kurang lebih 950 unit. Dan Tahun 2017, sudah sebanyak 1042 ada peningkatan 98 pompa. Kondisi Sumur pompa air tanah tersebut saat ini, ratusan unit rusak. Dalam perjalanan Panggung Modus Operandi di kab. Mojokerto, Jombang, Kediri dan Nganjuk dan Blitar, Madura, Jember serta Banyuwangi, keadaan Sumur Air Tanah, ada mesinnya yang hilang.Adapula mesin pompanya ada tapi tidak berjalan karena lama rusak. Sumurnya mengalami pendangkalan atau Rumah pompanya rusak berat, atap bocor, dan lain-lain.

Kalau Pemerintah dalam hal ini Balai Besar Wilayah Sungai Brantas Ditjen SDA Kementerian PUPR tidak segera menangani sumur pompa ini dengan cepat dan total, pada tahun ini juga. Berarti biaya yang dibutuhkan pada tahun berikutnya akan bertambah besar. Mungkin mesinnya akan hilang lebih banyak, gensetnya raib, dan lain-lain. Dan tentu petani akan bertambah miskin, karena air irigasi tidak tersedia pada musim kemarau. Kalau pemerintah pusat dalam hal ini Wilayah Sungai Brantas, menjadi pusat air tanah (PAT) pada tahun yang akan datang ini, tentui sangat melegakan kelompok petani air tanah. Apalagi ada program Deptan tentang Swasembada Kedele, Gula dan Padi pada tahun 2018, tentu ketersedian irigasi air tanah sangat diharapkan. Pande

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here