JAKARTA, PANGGUNG MODUSOPERANDI – Sejak berdiri 12 tahun lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi seperti tak berhenti menangkap pejabat pelaku korupsi. Tak pandang bulu, mulai dari ketua lembaga negara, pimpinan partai, anggota legislatif, menteri, gubernur, bupati, hingga petinggi lembaga penegak hukum. Namun, mengapa korupsi tidak pernah surut di negeri ini.
Dalam kurun 2004-2015, KPK memenjarakan 23 menteri dan kepala lembaga, 15 gubernur, 49 bupati/wali kota, 87 legislator, serta 120 pejabat eselon I, II, dan III. Bandingkan dengan masa sebelum KPK, pejabat yang dipenjara akibat korupsi bisa dihitung dengan jari.
Keganasan KPK dalam menjerat “orang-orang kuat” seharusnya dapat menciptakan efek jera dan efek gentar. Harapannya, korupsi terkikis sedikit demi sedikit di negeri ini.
Namun, faktanya, perkara korupsi tak menyusut sama sekali. Jumlah terdakwa korupsi yang diseret ke pengadilan oleh KPK bahkan meningkat dari 36 orang pada 2012 menjadi 41 orang pada 2013, dan 50 orang pada 2014. Tahun ini, dalam waktu sembilan bulan, sudah 47 orang diadili. Dapat dipastikan, jumlah orang yang dibawa ke pengadilan tahun ini melampaui tahun sebelumnya.
Jumlah itu belum mencakup kasus yang ditangani kepolisian dan kejaksaan. Jumlah perkara mereka pun meningkat dari 1.257 kasus pada 2011 jadi 2.270 kasus pada 2014, atau naik 80,6 persen dalam tiga tahun.
Jika demikian, benarkah upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tak efektif? Tentu tidak bisa langsung disimpulkan demikian.
Persoalan ini harus dilihat secara menyeluruh. Saat ini, Indonesia masih berada dalam masa transisi, dari negara otoriter menjadi demokratis. Meskipun secara kelembagaan sudah memenuhi syarat, dalam praktiknya, demokrasi Indonesia belumlah matang.
Peneliti korupsi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Rimawan Pradiptyo, mengatakan, pada awal demokrasi, korupsi cenderung meningkat. Ketika korupsi meningkat, tingkat kompetisi antar partai dalam memperebutkan sumber daya untuk membiayai aktivitas mereka pun semakin ketat.
Namun, peningkatan kompetisi dan kematangan masyarakat dalam berdemokrasi akhirnya mendorong tumbuhnya transparansi. Pada tahap inilah korupsi cenderung menurun. Titik terendah korupsi akan tercapai ketika tingkat demokrasi semakin tinggi. Ini terlihat pada negara-negara yang demokrasinya telah matang, seperti Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Swedia, dan Norwegia.
Demikian pula dengan desentralisasi. Pada tahap awal, desentralisasi memicu korupsi. Sebab, kompetisi yang semula hanya di pusat pemerintah kini menyebar ke daerah. Ada persaingan menjadi raja-raja kecil.
Lalu, kapan Indonesia mencapai titik di mana demokrasinya matang dan korupsinya menurun?
Semua tentu sepakat, demokrasi Indonesia masih jauh dari matang. Politik uang masih merajalela di setiap pemilu dan pilkada. Partai terus memperjuangkan kepentingannya. Kerja politik sangat transaksional, tanpa etika, dan tanpa sikap kenegarawanan.
Sementara ikhtisar hasil pemeriksaan semester I-2015 yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan, ada 4.609 kasus berpotensi merugikan negara Rp 21,62 triliun.
Kendati potensi dan tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi, bukan berarti kerja KPK tak efektif. Kerja KPK yang berani dan penuh terobosan selama ini diyakini bakal memberikan fondasi yang kuat bagi kematangan demokrasi di negeri ini. Skor indeks persepsi korupsi Indonesia yang dirilis Transparency International naik dari 32 (2013) menjadi 34 (2014).
Kenaikan skor indeks persepsi korupsi menunjukkan kerja KPK sudah on the track. Namun, KPK tak bisa bekerja sendiri memberantas korupsi. Jadi, pemerintah dan semua pemimpin bangsa ini jangan gamang dan ragu dengan kerja KPK. Pelemahan terhadap KPK justru akan memperlambat kematangan demokrasi dan ekonomi Indonesia. (M FAJAR MARTA)
Sumber: Kompas, 2 Desember 2015